Berdasarkan banyak penelitian epidemiologis dan klinis maka dislipidemia/dislipoproteinemia telah diakui sebagai salah satu faktor risiko utama penyakit kardiovaskular (PKV). Low density lipoprotein (LDL) telah dikenal sebagai lipoprotein aterogenik/"jahat" dan high density lipoprotein (HDL) telah dikenal sebagai lipoprotein protektif/"baik". Dari kedua lipoprotein tersebut maka dalam praktek rutin komponen lipid kolesterolnya yang diukur sehingga kita kenal kolesterol LDL dan Kolesterol HDL sebagai kolesterol "jahat" dan kolesterol "baik". Banyak pedoman penilaian risiko dan sasaran pengobatan, diantaranya yang banyak diikuti adalah the National Cholesterol Education Program - Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III) yang menjadikan kadar kolesterol LDL sebagai sasaran primer pengobatan dislipidemia. Namun sebagai sasaran sekunder, diajukan kolesterol non-HDL, khususnya dalam hal terdapat peningkatan kadar trigliserida. Juga dipakai rasio kadar kolesterol total/kolesterol HDL.1
Namun data menunjukkan bahwa tidak semua penderita PKV mempunyai kadar kolesterol LDL tinggi dan tidak semua penderita dengan kolesterol LDL tinggi menderita PKV. Lamarche dkk sebagaimana dikutip oleh O'Riordan M mendapatkan bahwa selain kolesterol LDL maka pemeriksaan kadar apoB menambah daya pembeda dengan nilai batas 128 mg/dL, dimana kadar kolesterol LDL tinggi (166 mg/dL) dengan kadar apoB >128 mg/dL mempunyai risiko 2x lebih tinggi dibandingkan dengan kadar kolesterol LDL yang sama tetapi disertai dengan kadar apoB <128 mg/dL. ApoB mewakili semua lipoprotein yang aterogenik kecuali HDL. Dianjurkan untuk menggunakan pemeriksaan kadar apoB bersama dengan kadar kolesterol LDL.2
Kadar kolesterol non-HDL yang menggambarkan kolesterol LDL, kolesterol VLDL dan juga lipoprotein(a), dianggap lebih luas mewakili lipoprotein aterogenik daripada kolesterol LDL saja. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kadar kolesterol non-HDL berkorelasi baik dengan kadar apoB daripada dengan kadar kolesterol LDL. Meskipun ada juga hasil penelitian dimana kolesterol non-HDL berbeda sampai Odd's ratio 14% dengan apoB, namun setelah diperiksa dengan receiver operating characteristic (ROC) perbedaannya hanya 1%. Oleh karena itu dianjurkan untuk lebih menggunakan ROC daripada indeks.3
Telah diajukan juga pemeriksaan jumlah dan ukuran partikel LDL namun teknik pemeriksaannya memerlukan alat khusus. Banyak penelitian mendapatkan bahwa kadar apoB, yang mewakili apoB-containing lipoproteins yang aterogenik lebih baik daripada partikel LDL.4,5
Oleh karena beberapa alasan, seperti antara lain bahwa tidak mudah bagi dokter maupun pasien untuk segera beralih dari kolesterol LDL ke apoB, pemantauan pengobatan dengan statin, perhitungan biaya, maka dianjurkan untuk menggunakan kadar kolesterol LDL dengan kolesterol non-HDL (= kolesterol total - kolesterol HDL) yang pemeriksaannya sudah rutin dan pada mereka dengan risiko tinggi pemeriksaan kadar apoB dan apoA1 (apolipoprotein dalam HDL) dengan rasio apoB/apoA1 sebagai parameter tambahan untuk memahami dengan lebih baik kelainan lipoprotein dan penatalaksanaan pasien dengan lebih berhasil guna. Terdapat pergeseran parameter dari lipid (kolesterol total dan trigliserida), ke komponen lipid dari lipoprotein (kolesterol LDL, kolesterol HDL dan kolesterol non-HDL) lalu ke komponen apolipoprotein (apoB dan apoA1). Diharapkan pedoman yang akan diterbitkan dapat menegaskan dan memasukkan parameter baru tersebut di atas. 6-8
Daftar pustaka:
1. Third Report of the NCEP Expert Panel, NIH Publication No 01-6370, 2001; Expert Panel on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Cholesterol in Adults. JAMA 2001; 285:2486-97
3. Levinson SS. Comparison of Apolipoprotein B and Non–High-Density Lipoprotein Cholesterol for Identifying Coronary Artery Disease Risk Based on Receiver Operating Curve Analysis. Am J Clin Pathol 2007;127:449-55.