Hemoglobin A1c (A1c), adalah suatu tes yang saat ini digunakan pada pasien yang telah diketahui diabetes untuk mengevaluasi control glukosa selama dua atau tiga bulan sebelumnya. Suatu komite ahli menyebutkan bahwa tes ini juga dapat digunakan untuk diagnosis diabetes. Rekomendasi ini datang dari suatu grup internasional yang terdiri dari the American Diabetes Association (ADA), the International Diabetes Federation (IDF), dan the European Association for the Study of Diabetes (EASD) serta dimuat pada Diabetes Care edisi juli.
Komite ini menyebutkan bahwa laporan mereka bertujuan untuk menjadi suatu rangsangan bagi komunitas internasional dan organisasi profesi untuk mempertimbangan penggunaan pemeriksaan A1c untuk mendiagnosis diabetes. ADA menyebutkan bahwa laporan ini adalah sesuatu yang bersifat prinsip dan mereka akan membangun suatu task force untuk mengeksplorasi dampak dar implementasi rekomendasi ini.
Para dokter telah bergantung pada pemeriksaan glukosa puasa dan tes toleransi glukosa oral untuk mendiagnosis diabetes selama bertahun-tahun. Komite ini menganjurkan bahwa A1c seharusnya menggantikan kedua tes ini sebagai tes pilihan untuk mendiagnosis diabetes, karena beberapa studi telah menunjukkan bahwa A1c memiliki kaitan lebih erat dengan risiko kompilasi daripada pengukuran glukosa tunggal atau episodic, dan dapat menjadi marker biokimiawi diabetes yang leibh baik, dan oleh sebab itu harus dipertimbangkan sebagai suatu alat diagnostic. Dalam beberapa tahun terakhir, akurasi dan presisi dari pemeriksaan A1c telah meningkat hingga sama baiknya dengan pemeriksaan glukosa puasa.
Pada tahun 1979, the National Diabetes Data Group pertama kali merekomendasikan pemeriksaan glukosa puasa untuk mendiagnosis diabetes, dengan kadar glukosa lebih tinggi atau sama dengan 140 mg/dL (7,7 mmol/L) dianggap abnormal. Pada tahun 1997, the Expert Committee on the Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus mengevaluasi studi-studi yang mempelajari hubungan antara hasil tes laboratorium dengan komplikasi diabetes jangka panjang dan menurunkan cut off glukosa darah puasa menjadi lebih besar atau sama dengan 126 mg/dL (7,0 mmol/L). Studi-studi ini juga menunjukkan suatu hubugnan antara hasil A1c dengan komplikasi diabetes, tetapi guideline pada tahun 1997 tidak merekomendasikan kadar A1c untuk mendiagnosis diabetes, terutama karena kurangnya tes A1c yang terstandardisasi.
Sejak tahun 1997, kemajuan dalam standardisasi dan alat telah meningkatkan akurasi dan presisi pemeriksaan A1c hingga paling tidak sebanding dengan tes glukosa. Perbaikan ini, bersama dengan beberapa keuntungan dari A1c, membawa pada saran untuk mengganti ke A1c sebagai tes diagnostik. Selain itu, A1c tidak memerlukan persiapan khusus (seperti puasa), sehingga membuat pemeriksaan diabetes menjadi lebih mudah.
Kadar A1c lebih atau sama dengan 6,5 % dikaitkan dengan peningkatan risiko kerusakan pembuluh darah (terdeteksi di mata sebagai retinopati), jadi komite ini merekomendasikan bahwa diagnosis dan konfirmasi diabetes dilakukan dengan pemeriksaan A1c berulang. Jika kadar A1c di atas 6,0 %, pasien beserta dokter harus melakukan sesuatu untuk mencegah penyakit. Jika kadar A1c kurang dari 6,0 %, tindakan pencegahan harus dilakukan jika pasien memiliki riwayat keluarga diabetes, indeks masa tubuh yang tinggi, atau peningkatan tekanan darah dan kadar trigliserida.
Pernyataan ini menganjurkan agar tidak mencampuradukkan atau mencocokkan hasil A1c, glukosa puasa, dan tes toleransi glukosa oral karena tes ini tidak berkorelasi sepenuhnya, dan hasl ini dapat menyebabkan kebingungan. Pernyataan ini juga tidak menganjurkan penggunaan istilah "pre-diabetes" dan "Toleransi glukosa terganggu" dan menyarankan istilah ini tidak digunakan lagi karena istilah-istilah ini gagal menangkap kontinuitas risiko. Pre-diabetes khususnya mengimplikasikan bahwa orang-orang yang terdiagnosa akan mendapatkan diabetes nantinya, yang tidak sepenuhnya benar.
Komite ini secara spesifik merekomendasikan bahwa untuk tujuan diagnosis, tes A1c harus dilakukan di laboratorium klinik dan tidak menggunakan tes POCT, yang tidak sama akurat dan presisinya. Walaupun komite ini jelas menyarankan A1c sebagai tes diagnosis, ia juga menyadari bahwa tes ini tidak tepat dilakukan pada semua situasi. Hal ini terutama benar pada negara-negara berkembang karena tes ini lebih mahal dan negara-negara tertentu memiliki kejadian anemia kronik yang tinggi, yang dapat menganggu pemeriksaan A1c. A1c tidak direkomenasikan untuk diagnosis diabetes pada kehamilan atau pada anak-anak dengan diabetes tipe 1 karena kadar glukosa biasanya naik mendahului kadar A1c pada kondisi-kondisi ini. Hasil dari beberapa tes A1c juga dapat terpengaruh jika pasien memiliki hemoglobinopati.
Sejumlah studi lain juga telah merekomenasikan bahwa kriteria diagnosis diabetes diubah dengan memasukkan A1c. Pada saat ini, ADA sedang mempertimbangan rekomendasi ini
Sumber : www.labtestsonline.org. In the News September 1, 2009